Rabu, 15 Juli 2009

Imam Khomeini

Imam Khomeini ra

Rahbari Dalam Pandangan Imam Khomeini ra
Syarat-Syarat Rahbari (Kepemimpinan)

Dua Syarat Dasar

Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk memimpin secara langsung bersumber dari model alami pemerintahan Islam. Setelah syarat-syarat umum, seperti berakal dan pengelola, ada dua syarat dasar antara lain:

1. Ahli hukum
2. Keadilan

Meski sepeninggal Rasulullah saw terjadi perselisihan dalam masalah siapakah yang berhak memegang kekhalifahan, namun di antara kaum muslimin tidak terjadi perselisihan bahwa yang berhak memegang tampuk kekhalifahan harus orang yang utama. Ada dua poin yang diperselisihkan:

1. Berhubung pemerintahan Islam adalah pemerintahan berdasarkan undang-undang, maka syarat seorang pemimpin harus mengetahui undang-undang. Syarat ini disebutkan dalam berbagai riwayat. Pengetahuan akan undang-undang ini tidak hanya diharuskan bagi seorang pemimpin saja, tetapi juga bagi setiap pejabat. Perbedaannya seorang pemimpin harus lebih mengetahui ketimbang yang lainnya. Para imam maksum kita mengargumentasikan keimamahan dan kepeimimpinannya dengan metode ini bahwa seorang imam harus lebih utama dibandingkan oran lain. Kritikan-kritikan yang diajukan oleh ulama Syiah terhadap yang lain juga terkait dengan masalah ini. Ada seseorang menyebut dirinya khalifah tapi ketika ditanya ia tidak mampu menjawab. Ketidakmampuannya menjawab membuktikan ia tidak layak menjadi seorang khalifat dan pemimpin. Bila ada satu perbuatan yang dilakukannya bertentangan dengan hukum Islam berarti ia tidak pantas untuk menjadi pemimpin.

Menurut umat Islam ahli hukum dan adil merupakan syarat dan rukun asli bagi seorang pemimpin, sementara syarat-syarat lain hanya sebagai pelengkap seperti ilmu tentang malaikat dan sifat-sifat Allah. Dua ilmu ini tidak punya hubungan dengan masalah kepemimpinan. Begitu juga bila seseorang menguasai ilmu fisika dan berhasil menyingkap seluruh potensi yang dimiliki alam atau seseorang yang menguasai musik tidak serta merta membuatnya layak memimpin. Penguasaan terhadap hal-hal demikian tidak membuatnya lebih didahulukan dalam urusan kepemimpinan dari orang yang mengetahui undang-undang Islam sekaligus adil.

Hal-hal yang terkait dengan masalah kekhalifahan di masa Rasulullah saw, para imam maksum as dan dibahas secara serius oleh umat Islam adalah seorang khalifah atau pemimpin syarat pertama yang harus dimiliki adalah mengetahui ukum-hukum Islam. Artinya seorang khalifah harus ahli hukum. Syarat kedua ia harus adil dan sempurna dari sisi akidah dan akhlak. Akal manusia juga menuntut hal yang demikian. Karena pemerintahan Islam adalah pemerintahan yang berdasarkan undang-undang, bukan pemerintahan arogan dan juga bukan pemerintahan individu atas rakyat. Bila seorang pemimpin tidak mengenal hukum, berarti ia tidak punya kelayakan untuk memerintah. Karena bila ia bertaklid akan merusak kekuatan pemerintahan dan bila tidak bertaklid, ia tidak menjadi penguasa dan pelaksana hukum Islam. Dengan demikian menjadi jelas hadis yang menyebut fuqaha adalah pemimpin para penguasa. Jika para penguasa mengikuti Islam, artinya mereka harus mengikuti para ahli fiqih dan menanyakan undang-undang dan hukum-hukum Islam kepada fuqaha kemudian melaksanakannya. Dalam kondisi seperti ini, penguasa sejati adalah fuqaha. Oleh karena itu, kekuasaan secara resmi harus dipegang oleh fuqaha, bukan dipegang oleh orang-orang yang tidak mengetahui hukum Islam yang terpaks harus mengikuti fuqaha.

2. Seorang pemimpin harus sempurna dari sisi akidah dan akhlak. Ia harus adil dan tidak berbuat dosa. Barang siapa yang ingin melaksanakan hukum Islam, yakni memelaksanakan hukum pidana Islam, mengelola baitul mal, pemasukan dan pengeluaran negara dan Allah menyerahkan urusan hamba-hamba-Nya kepadanya, maka ia tidak boleh berbuat dosa. "Wa La Yanalu ‘Ahdi adh-Dhalimin” Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim". Allah swt tidak akan memberikan hak semacam ini kepada seorang zalim. Bila seorang pemimpin tidak adil, maka ia tidak akan bisa berlaku adil dalam memberikan hak-hak umat Islam, mengambil pajak dan menggunakannya serta menjalankan hukum pidana. Boleh jadi ia akan memaksakan teman-teman dan keluarganya terhadap masyarakat dan menggunakan baitul mal untuk kepentingan pribadi dan hawa nafsunya.

Rahbar (Pemimpin) Tidak Harus Seorang Marja

Sejak awal saya berkeyakinan dan menekankan bahwa seorang rahbar tidak harus seorang marja. Seorang mujtahid cukup disetujui oleh anggota Dewan Ahli dari seluruh negeri. Bila rakyat memilih anggota Dewan Ahli supaya mereka menentukan seorang Rahbar (pemimpin) pemerintahan mereka dan ketika Dewan Ahli menentukan seseorang sebagai Rahbar (pemimpin), maka kepemimpinannya dengan sendirinya telah disetujui oleh rakyat. Dalam kondisi yang demikian ia adalah pemimpin yang dipilih oleh rakyat dan perintahnya harus dijalankan.

Teladan Rahbari
Rahbar di Pengadilan

Di masa permulaan Islam ada dua periode di mana pemerintahan Islam dapat diterapkan. Pertama, di zaman Rasulullah saw dan yang kedua saat Imam Ali bin Abi Thalib as memerintah di Kufah. Dalam dua periode inilah nilai-nilai spiritual memerintah. Yakni berdirinya sebuah pemerintahan adil dan pemimpin yang berkuasa tidak sedikit pun melanggar undang-undang. Dalam dua periode ini pemerintahan berdasarkan undang-undang. Boleh dikata mungkin kita tidak akan memiliki pemerintahan yang berdasarkan supremasi hukum seperti dalam dua periode itu. Pemerintahan yang pemimpinnya, sekarang terkadang disebut raja atau presiden, sama dengan seorang masyarakat biasa di hadapan undang-undang. Pemerintahan di awal Islam seperti itu. Sejarah mencatat satu kasus terkait Imam Ali as. Saat itu Imam Ali as dalam posisi sebagai khalifah umat Islam dan kekuasaannya terbentang mulai dari Hijaz sampai Mesir, Iran dan daerah-daerah lain. Imam Ali as yang menentukan hakim-hakim. Dalam sebuah kasus antara Imam Ali as dengan seorang warga Yaman yang masih berada di bawah kekuasaan pemerintahan Imam Alia as, hakim menghadirkan beliau, padahal beliau sendirilah yang mengangkat hakim itu. Ketika Imam Ali as memasuki ruang sidang, hakim hendak berdiri untuk menghormatinya. Imam Ali as langsung berkata, di ruang sidang seorang hakim tidak boleh hanya menghormati seseorang saja. Karena kedua belah pihak berada dalam posisi yang sama. Keputusan hakim ternyata merugikan Imam Ali as dan diterima oleh beliau dengan gembira.

Inilah sebuah pemerintahan di mana semua orang posisinya sama di hadapan undang-undang. Karena undang-undang Islam adalah undang-undang ilahi. Semua hadir di hadapan Allah, baik pemimpin atau yang dipimpin, baik Nabi, imam maupun rakyat lainnya.

Rahbar di Tengah-Tengah Masyarakat

Pemimpin Islam berbeda dengan pemimpin-pemimpin lainnya seperti raja atau presiden. Pemimpin Islam adalah seorang pemimpin yang selalu berada di tengah-tengah masyarakat. Ia selalu hadir di masjid kecil di Madinah mendengarkan kata-kata masyarakat. Mereka yang berada di jajaran pemerintahan duduk bersama berbagai kalangan masyarakat di masjid. Mereka berkumpul sedemikian rupa sehingga bila ada orang lain masuk ke masjid, maka ia tidak akan dapat membedakan mana pemimpin pemerintahan, pejabat pemerinah dan mana yang menjadi rakyat biasa. Pakaian yang dikenakannya sama seperti yang dipakai rakyat biasa. Ia bergaul sama dengan pergaulan rakyat biasa. Begitu adilnya dalam melaksanakan keadilan sehingga bila rakyat yang paling rendah pergi ke pengadilan menuntut pemimpin tertinggi pemerintahan, maka hakim dengan mudah memanggil orang tertinggi di pemerintahan dan ia pasti hadir.

Wilayat Fakih Anti Kediktatoran

Dalam Islam yang memimpin adalah undang-undang. Rasulullah saw juga menaati undang-undang. Menaati undang-undang ilahi dan tidak melanggarnya. Allah swt berfirman: “Seandainya kamu mengatakan sesuatu bertentangan dengan apa yang Aku katakan, maka Aku pegang tangan kananmu dan Aku potong urat tali jantungmu”. Bila Rasulullah saw seorang diktator dan ditakuti jangan sampai suatu saat ia melakukan kediktatoran dengan semua kekuatan yang dimilikinya. Seandainya Rasulullah adalah seorang diktator, maka seorang faqih juga bisa berlaku sebagai seorang diktator.

Faqih tidak boleh orang yang zalim. Faqih yang berada dalam posisi sebagai Rahbar (pemimpin) harus punya sifat adil. Keadilan selain keadilan sosial. Bila seorang faqih berkata satu kebohongan saja berarti ia telah keluar dari sifat adil. Bila ia memandang seseorang yang bukan muhrimnya berarti ia sudah tidak adil. Orang yang semacam ini tidak dapat melanggar dan tidak akan melanggar.

Wewenang Rahbari dan Pemerintahan

Bila seseorang yang layak dan memiliki dua sifat ini (ahli hukum dan adil) bangkit dan membentuk sebuah pemerintahan, maka ia juga memiliki kekuasaan sebagaimana yang dimiliki oleh Rasulullah saw dalam mengatur urusan sosial dan seluruh masyarakat wajib menaatinya.

Anggapan yang mengatakan bahwa wewenang pemerintahan Rasulullah saw lebih besar dari Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as atau wewenang pemerintahan Imam Ali as lebih besar dari seorang faqih adalah pemikiran yang batil dan salah. Tentu saja keutamaan Rasulullah saw lebih tinggi dari semuanya. Setelah Rasulullah saw keutamaan Imam Ali as lebih tinggi dari yang lainnya. Namun, kelebihan keutamaan spiritual tidak memperluas wewenang pemerintahan. Allah swt juga memberikan wewenang kepada pemerintahan saat ini sebagaimana wewenang dan kekuasaan yang dimiliki oleh Rasulullah saw dan para imam maksum lainnya baik dalam memobilisasi sukarelawan dan pasukan, menentukan wakil-wakil dan gubernur, menarik pajak dan menggunakannya demi kepentingan umat Islam. Bedanya pemimpin setelah kegaiban Imam Mahdi af tidak ditentukan individunya tapi atas nama “faqih yang adil”.

Ketika kita katakan bahwa setelah masa gaibnya imam Mahdi af kekuasaan yang dimiliki oleh Rasulullah saw dan para imam maksum as dimiliki oleh faqih yang adil, jangan sampai ada yang berpikiran bahwa kedudukan para ahli fiqih adalah kedudukan para imam maksum as dan Rasulullah saw. Karena di sini tidak berbicara tentang kedudukan tapi berbicara tentang tugas. Wilayah adalah pemerintahan, mengatur negara dan menerapkan undang-undang syariat. Sebuah tugas yang sangat berat dan penting, bukannya mendatangkan posisi dan kedudukan luar biasa bagi seseorang atau menaikkan derajatnya dari batas manusia biasa. Dengan kata lain, kekuasaan yang menjadi bahasan adalah pemerintahan, melaksanakan dan mengatur. Berbeda jauh dengan yang dibayangkan oleh banyak orang. Kekuasaan bukan keistimewaan, tapi sebuah tugas berat.

Salah satu tugas seorang faqih pemegang kekuasaan adalah menjalankan hukum. Yakni hukum pidana Islam. Apakah dalam menjalankan hukum pidana ada perbedaan antara Rasulullah saw, Amirul Mukminin as dan seorang faqih? Apakah seorang faqih yang kedudukannya lebih rendah ia harus memukulnya lebih sedikit? Sebagai contoh, hukuman seseorang yangmelakukan zina adalah seratus cambukan. Apakah bila Rasulullah saw yang menjalankan hukum tersebut ia harus mencambuknya sebanyak seratus lima puluh kali cambukan, Amirul Mukminin Ali as seratus kali cambukan dan seorang faqih lima puluh cambukan? Ataukah seorang pemimpin selaku lembaga ekskutif ia harus menjalankan hukum Allah sesuai yang ditentukan, baik dia Rasulullah saw, Imam Ali as, wakil dan hakim beliau di Basrah dan Kufah atau seorang faqih masa kini. Tugas-tugas lain Rasulullah saw dan Amirul Mukminin Ali as adalah menarik pajak, khumus, zakat, jizyah dan upeti tanah baik yang dihasilkan dari perang atau penduduknya berdamai. Bila Rasulullah saw harus menarik zakat, maka berapakah beliau harus mengambilnya? Apakah dari satu tempat beliau mengambil sepuluh dan di tempat lain dua puluh?

Apa yang dilakukan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as saat menjadi khalifah? Bagaimana dengan kalian sebagai faqih masa kini dan hukumnya harus dilaksanakan? Apakah dalam hal ini ada perbedaan antara kekuasaan Rasulullah saw, Amirul Mukminin Ali as dan kekuasaan seorang faqih? Allah swt telah menetapkan Rasulullah saw sebagai pemimpin seluruh umat Islam. Semasa hidup Rasulullah saw, beliau menjadi pemimpin umat Islam termasuk pemimpin Imam Ali as. Sepeninggal beliau yang memimpin adalah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. Beliau menjadi pemimpin atas imam setelahnya. Artinya, semua perintahnya berlaku bagi seluruh umat Islam. Beliau punya wewenang untuk mengangkat atau memberhentikan wakilnya.

Sebagaimana Rasullah saw diperintahkan untuk menjalankan hukum-hukum Islam dan menciptakan sistem Islam, Allah menjadikan beliau sebagai pemimpin umat Islam dan mereka harus menaatinya, seorang faqih yang adil juga harus menjadi pemimpin umat Islam, menjalankan hukum-hukum Islam dan menciptakan sistem sosial Islam.

Pemerintahan hukum awwali dan lebih utama dari hukum cabang

Bila wewenang pemerintahan berada dalam bingkai hukum-hukum cabang ilahi, maka wewenang pemerintahan ilahi dan kepemimpinan mutlak yang diberikan kepada Nabi Muhammad saw merupakan sebuah fenomena yang tidak bermakna. Pemerintahan merupakan cabang kekuasaan mutlak Rasulullah saw, salah satu hukum awwali Islam dan lebih utama dari seluruh hukum cabang, bahkan atas shalat, puasa dan haji. Seorang pemimpin berhak merusak masjid atau rumah yang berada di tengah jalan dan memberikan ganti rugi kepada pemiliknya. Bila kondisi mengharuskan, seorang pemimpin bisa menghentikan aktiftas masjid dan merusak masjid yang membahayakan bila penyelesaiannya hanya dengan jalan membongkarnya. Pemerintah bisa membatalkan perjanjian syar’i yang dilakukannya dengan masyarakat secara sepihak, bila perjanjian tersebut bertentangan dengan kepentingan negara dan Islam. Pemerintah bisa mencegah segala perkara baik yang bersifat ibadah maupun selain ibadah bila itu bertentangan dengan kepentingan Islam. Pemerintah untuk sementara waktu bisa memboikot haji yang merupakan salah satu kewajiban ilahi yang penting bila kondisinya bertentangan dengan kepentingan negara Islam.

Kepemimpinan dan hak membatasi kepemilikan

Dalam Islam harta yang dimiliki lewat proses yang sesuai dengan syariat dibatasi dengan beberapa batasan. Salah satunya pembatasnya terkait dengan wewenang Wilayah Faqih. Patut disesalkan betapa para cendekiawan kita tidak memahami masalah. Mereka tidak tahu apa yang dimaksud dengan Wilayah Faqih. Salah satu wewenang Wali Faqih terkait dengan pembatasan kepemilikan. Benar Allah menghormati kepemilikan, namun pada saat yang sama seorang Wali Faqih dapat membatasi kepemilikan itu bila melihatnya bertentangan dengan kepentingan umat Islam dan Islam. Di sini kepemilikan yang dihormati dan legal itu dapat dibatasi dengan sebuah pembatasan tertentu lewat hukum yang dikeluarkan seorang Wali Faqih dan bahkan menyitanya.

diambil dari http://www.leader.ir

Selasa, 16 Desember 2008




Senin, 24 November 2008


Ada Kejahatan ....!!!

Sarang Narkoba.....!!!

Meresahkan Warga....!!!

klik link ini


susah cari hiburan...!!!
Bingung Mau Liat apa ...???
gini aja
Mau Liat Jadwal Bioskop klik www.21cineplex.com

Save U life





JANGAN PERNAH MENCOBA NARKOBA www.bnn.go.id

Jumat, 07 November 2008

TOKOH

IMAM JA‘FAR SHADIQ AS: GURU PARA IMAM MAZHAB
Ditulis Oleh Administrator
Jumat, 02 Nopember 2007
Riwayat Singkat

Nama : Ja‘far
Gelar : Ash-Shadiq
Panggilan : Abu Abdillah
Ayah : Muhammad bin Ali Al-Baqir as
Ibu : Ummu Farwah
Kelahiran : Madinah, 17 Rabiul Awal 80 H
Kesyahidan : 25 Syawal 148 H
Makam : Pemakaman Baqi‘, Madinah


Hari Lahir

Imam Ja‘far Shadiq as lahir pada 17 Rabiul Awal 80 Hijriah di Madinah al-Munawwarah. Ayah beliau adalah Imam Muhammad Baqir as dan ibunya bernama Ummu Farwah, putri Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar.

Bercerita tentang sang ibu, beliau menuturkan, “Ibundaku adalah wanita beriman, bertakwa, dan senantiasa berbuat baik, karena sesungguhnya Allah Swt mencintai orang yang senantiasa berbuat baik.”

Imam Ja‘far Shadiq as hidup sezaman dengan datuknya, Imam Ali Zainal Abidin as selama 15 tahun dan dengan ayahnya, Imam Muhammad Baqir as selama 34 tahun.

Beliau memiliki beberapa gelar terhormat, di antaranya Ash-Shabir (sang penyabar), Al-Fadhl (sang utama), dan Ath-Thahir (sang suci). Gelar beliau yang paling masyhur adalah Ash-Shadiq (sang jujur). Seluruh gelar tersebut menunjukkan kemuliaan dan keutamaan akhlak beliau.

Beliau menyaksikan kezaliman Bani Umayah yang justru meruntuhkan kekuasaan mereka sendiri, sekaligus membukakan jalan bagi Bani Abbasiyah yang mengatasnamakan Ahlulbait untuk mengajak masyarakat bangkit melawan Bani Umayah. Namun, ketika berhasil meruntuhkan kekuasaan Bani Umayah, mereka malah lebih menumpahkan kebenciannya kepada Ahlulbait as.

Imam Ja‘far as hidup di bawah pemerintahan zalim Bani Umayah selama kurang-lebih 40 tahun dan hidup pada masa permerintahan Abbasiyah selama sekitar 20 tahun. Selama itu, beliau menghindar dari kehidupan politik. Sementara pemikiran syirik dan penyelewengan berkembang pesat, beliau lebih banyak menghabiskan waktunya pada pengajaran agama, pendidikan akhlak, dan akidah di tengah masyarakat.

Kondisi yang berkembang waktu itu telah menuntut Imam Ja‘far as untuk berjuang melawan pemikiran syirik, sehingga pada masa beliaulah mazhab Ahlulbait sesungguhnya mengalami perkembangan pesat.

Akhlak Luhur

Zaid bin Tsa’ari al-Ma’ruf berkata, “Pada setiap zaman pasti ada seorang dari Ahlulbait Nabi saw di tengah-tengah kita yang menjadi bukti Allah atas segenap makhluk-Nya. Dan bukti Allah di zaman kita ini ialah anak laki-laki dari saudaraku, Ja‘far bin Muhammad yang tidak akan sesat siapa yang mengikutinya dan tidak akan mendapat petunjuk siapa yang menyimpang darinya.”

Malik bin Anas (Imam Malik) berkata, “Demi Allah! Aku tidak pernah melihat seorang pun melebihi kezuhudan, keutamaan, ibadah, dan kewarakan Ja‘far bin Muhammad. Suatu waktu aku mendatanginya dan beliau sangat memuliakanku.”

Bahkan, Abu Hanifah (Imam Hanafi) pernah belajar kepada beliau selama dua tahun. Dia menuturkan pengakuannya, “Seandainya tidak ada dua tahun, maka Nu’man (Abu Hanifah) pasti binasa.”

Salah satu sahabat beliau meriwayatkan, “Pada suatu hari aku bersama Abu Abdillah (Imam Ja‘far) as. Ketika itu, beliau mengendarai keledai menuju Madinah. Tatkala mendekati pasar, Imam turun dari himarnya lalu sujud kepada Allah cukup lama.

“Aku menunggunya, sampai beliau mengangkat kepalanya. Lalu aku berkata kepadanya, ‘Semoga aku menjadi tebusanmu wahai Imam! Aku melihat Anda turun dari keledai lalu sujud.’ Beliau membalas, “Sesungguhnya aku teringat nikmat Allah yang begitu melimpah kepadaku. Maka, aku segera melakukan sujud syukur.’”

Pernah juga sahabat itu berkata, “Aku melihat Ja‘far bin Muhammad as sedang mencangkul di kebunnya. Tampak peluh bercucuran dari tubuhnya yang mulia. Kukatakan kepadanya, ‘Semoga aku menjadi tebusanmu, wahai Imam! Berikanlah cangkul itu kepadaku dan tinggalkanlah pekerjaan ini.’
“Beliau berkata kepadaku, ‘Sesungguhnya aku senang kepada seseorang yang bersusah payah dan kulitnya terbakar sinar matahari untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.’”

Suatu hari Imam Ja‘far as meminta seorang pembantunya untuk suatu keperluan. Ketika ia tak kunjung kembali, beliau keluar mencarinya dan mendapatinya sedang tidur. Imam menghampirinya dan duduk di dekat kepalanya lalu mengipasinya hingga ia terjaga. Imam mengingatkannya dan berkata kepadanya, “Engkau tidur siang dan malam? Bagimu waktu malam dan bagi kami waktu siang.”

Imam Ja‘far as pernah mengupah beberapa orang untuk bekerja di kebunnya. Sebelum mereka selesai dari pekerjaannya, Imam berkata kepada pembantunya, Mu’tab, “Berikanlah upah mereka sebelum kering keringatnya.”

Ketika telah lewat tengah malam, beliau membawa kantong yang berisi roti, daging, dan dirham (uang perak) yang diletakkan di pundaknya, lalu beliau memberikan kepada orang-orang yang membutuhkan di sekitar Madinah, sementara mereka tidak mengetahui siapa yang membagi-bagikan bahan pangan itu. Ketika Imam Shadiq as wafat, mereka baru tahu bahwa yang membagikan bahan pangan kepada mereka selama ini adalah beliau.

Imam Ja‘far dan Sufyan Tsauri

Suatu hari, Sufyan lewat di Masjidil Haram. Dia melihat Imam Ja‘far as memakai mantel bagus yang berharga mahal. Dia berkata kepada dirinya, “Demi Allah, saya akan peringatkan dia.” Lalu dia mendekati Imam dan berkata kepadanya,” Demi Allah, wahai putra Rasulullah! Aku tidak menjumpai pakaian seperti ini dipakai oleh Rasulullah, Ali bin Abi Thalib, dan tidak seorang pun dari bapakmu.”
Imam menjawab, “Dahulu, Rasulullah hidup pada zaman yang serba kekurangan, kefakiran, dan kini kita hidup pada zaman kemakmuran, dan orang-orang baiklah yang lebih berhak daripada orang lain atas nikmat Allah.”

Kemudian beliau membacakan firman Allah, “Katakanlah siapakah yang mengharamkan perhiasan dan makan bersih yang Allah siapkan untuk hambanya.” “Maka, kamilah yang lebih berhak untuk memanfaatkan apa yang diberikan Allah.”

Lalu Imam menyingkap pakaiannya dan tampaklah pakaian dalamnya yang kasar dan kering. Beliau berkata lagi, “Wahai Sufyan, pakaian ini (mantel luar) untuk manusia dan pakaian dalam ini untukku.”

Imam Ja‘far dan Perniagaan

Suatu hari Imam as memanggil pelayannya, Musadif dan memberinya seribu dinar untuk modal berniaga. Imam berkata kepadanya, “Bersiap-siaplah pergi ke Mesir untuk berniaga.”

Ketika barang dagangan sudah dikumpulkan, dia bersiap-siap untuk berangkat bersama kafilah dagang ke Mesir. Di tengah perjalanan, mereka berpapasan dengan kafilah dagang dari Mesir dan mereka menanyakan barang perniagaan dan kebutuhan masyarakat di sana. Mereka mengabarkan bahwa barang yang mereka bawa sekarang tidak ada di Mesir, lalu kafilah dagang itu sepakat untuk mencari keuntungan.

Setibanya di Mesir, mereka menjual barang mereka dengan harga seratus persen keuntungan, kemudian bergegas kembali ke Madinah. Musadif menjumpai Imam Shadiq as sambil membawa dua kantong uang, masing-masing berisi seribu dinar.

Dia berkata kepada Imam as, “Wahai tuanku, ini modal uang dan ini keuntungannya.”
Imam berkata, “Alangkah banyak keuntunganmu. Bagaimana caranya engkau dapatkan keuntungan sebanyak ini?”

Musadif pun menceritakan bagaimana masyarakat Mesir membutuhkan barang yang mereka bawa, dan bagaimana para pedagang sepakat untuk menarik keuntungan satu kali lipat dari setiap dinar modal mereka.

Imam as dengan nada heran berkata, “Mahasuci Allah, engkau sepakat untuk menarik keuntungan dari kaum muslimin dan menjual barang kalian dengan keuntungan satu dinar dari setiap dinar modal kalian?”

Imam lalu mengambil modalnya saja dan berkata, “Ini adalah hartaku dan aku tidak butuh pada keuntungan ini.”

Kemudian berkata, “Wahai Musadif, tebasan pedang lebih ringan perkaranya daripada mencari harta halal.”

Pada suatu waktu, seorang fakir pernah meminta bantuan kepada Imam Ja‘far as. Lalu beliau berkata kepada pembantunya, “Apa yang ada padamu?” Pembantu itu menjawab, “Kita punya empat ratus dirham.”

Imam berkata lagi, “Berikanlah uang itu kepadanya!” Orang fakir itu mengambilnya dan pamit dengan segunung rasa syukur.

Imam meminta kepada pembantunya, “Panggil dia kembali!” Si fakir itu berkata keheranan, “Aku meminta kepadamu dan kau memberiku, lalu gerangan apakah Anda memanggilku kembali?”

Imam berkata, “Rasululah saw bersabda, ‘Sebaik-baik sedekah adalah yang membuat orang lain tidak butuh lagi.’ Dan kami belum membuat kamu merasa tidak butuh lagi. Maka, ambillah cincin ini. Harganya 10 ribu dirham. Jika kamu memang memerlukan, juallah cincin ini dengan harga tersebut.”

Berbakti kepada Ibu

Seorang pemuda beragama Nasrani (Kristen) yang baru saja masuk Islam menjumpai Imam Ja‘far Shadiq. Imam memanggilnya dan berkata, “Katakanlah apa yang kau butuhkan?”

Pemuda itu berterus terang, “Sesungguhnya ayah dan ibuku serta seluruh keluargaku beragama Nasrani. Ibuku matanya buta dan aku hidup bersama dengan mereka dan makan dari bejana mereka.”

Imam as berkata, “Apakah mereka makan daging babi?”

Pemuda itu menjawab, “Tidak.”

Imam as berkata, “Makanlah bersama mereka, dan aku wasiatkan kepadamu untuk tidak merasa berat dalam berbuat baik kepada ibumu, dan penuhilah segala keperluannya.”

Pemuda itu kembali ke Kufah. Setibanya di rumah, sang ibu mendapatinya begitu patuh dan saleh, berbeda dengan kondisi sebelumnya.

Dia berkata, “Wahai anakku, kau tidak pernah melakukan hal seperti ini ketika kau masih memeluk agama Nasrani. Lalu gerangan apakah semua yang kuliat ini semenjak kau berpindah agama dan masuk Islam?”

Pemuda itu menjawab, “Aku diperintahkan melakukan semua ini oleh seorang laki-laki dari keturunan Nabi Muhammad saw.”

“Apakah dia seorang nabi?” tanya sang ibu.
Pemuda itu menjawab, “Bukan, ia hanyalah keturunan nabi.”
Akhirnya, sang ibu pun mengakui, “Agamamu sungguh sebaik-baik agama. Ajarkanlah agamamu kepadaku.”

Lalu pemuda itu menyambut permintaannya, hingga ia pun masuk Islam dan menunaikan salat sesuai yang diajarkan anaknya yang saleh itu.

Imam Ja‘far dan Penimbun Barang

Imam Ja‘far Shadiq as berkata, “Masa menimbun barang pada musim subur (panen); yaitu empat puluh hari dan tiga hari pada musim paceklik. Maka, barang siapa yang melampaui empat puluh hari pada musim subur, sungguh ia akan terlaknat, dan barang siapa yang melampaui tiga hari ketika musim paceklik, dia pun akan terlaknat.”

Beliau berkata kepada pembantunya ketika masyarakat dalam keadaan hidup susah, “Belilah biji gandum dan campurlah makanan kami (dengan bahan lain), karena kami dimakruhkan makan makanan yang enak sementara masyarakat makan makanan yang tidak enak.”

Suatu malam, gelap gulita menyelimuti kota Madinah. Mu'alla bin Khunais melihat Imam Ja‘far as menerobos kegelapan malam di bawah guyuran hujan sambil memikul roti sekarung penuh. Lalu dia mengikuti beliau untuk mengetahui ihwal rota yang dibawanya. Tiba-tiba beberapa potong roti itu jatuh berserakan. Imam as memungutnya dan terus melanjutkan perjalanannya hingga sampai di tempat orang-orang miskin yang sedang tidur. Imam as meletakkan dua potong roti di samping kepala mereka.

Mu’alla mendekati Imam as. Setelah memberi salam, dia bertanya, “Apakah mereka dari pengikut setiamu?” Beliau menjawab, “Bukan.”

Imam Ja‘far as juga banyak menanggung nafkah sejumlah keluarga. Beliau membawakan mereka makanan pada malam hari sementara mereka sendiri tidak mengetahui. Hingga ketika beliau wafat, terputuslah santunan yang biasa datang pada malam hari. Mereka sadar bahwa yang membawa itu ternyata sang Imam as.

Suatu masa, Madinah dilanda musim kemarau. Gandum begitu langka di pasar. Imam Ja‘far as bertanya kepada pembantunya, Mu'tab tentang persediaan yang dimiliki. Mu'tab menjawab, “Kita punya cukup persediaan untuk beberapa bulan.”

Beliau memerintahkan untuk membawa dan menjualnya di pasar. Mu'tab heran dan memprotes. Akan tetapi, tidak ada faedahnya.

Basyar Mukkari meriwayatkan, “Aku mendatangi Ja‘far Shadiq as, sementara beliau tengah memakan kurma yang berada di tangannya. Beliau berkata, ‘Wahai Basyar, kemarilah dan makanlah bersama kami.’

Aku berkata, ‘Semoga Allah membahagiakanmu, nafsu makanku hilang karena aku melihat sebuah kejadian di tengah jalan tadi yang menyakitkan hatiku. Aku melihat tentara memukuli seorang perempuan dan menyeretnya untuk dijebloskan ke penjara. Perempuan itu meratap, ‘Aku memohon perlindungan kepada Allah dan Rasul-Nya.’ Lalu aku mencari tahu tentang nasib perempuan tersebut. Orang-orang mengatakan bahwa dia tergeletak di jalan. Aku berkata, ‘Semoga Allah melaknat orang yang menzalimimu, duhai Fatimah.’

Imam berhenti makan dan menangis. Air matanya membasahi sapu tangannya. Lalu beliau bangkit dan pergi ke mesjid untuk mendoakan perempuan itu.

Perempuan miskin itu tidak lama tinggal mendekam di penjara. Imam as mengirimkan kepadanya sebuah kantong kecil yang berisi tujuh keping dinar.

Universitas Islam

Dinasti Umayah, yang diikuti oleh Dinasti Abbasiyah, senantiasa berusaha menumpas Ahlulbait as dan mengusir para pengikut mereka di segala penjuru.

Dalam keadaan buruk demikian itu, masyarakat menuntut ilmu dan riwayat dari Ahlulbait dengan sembunyi-sembunyi dan rasa takut.

Ketika keadaan itu berlanjut sampai pada masa Imam Muhammad Baqir as dan putranya, Imam Ja‘far Shadiq as, mereka berdua memusatkan perhatian pada pengembangan ilmu pengetahuan dan memperkuat asas keimanan di hati masyarakat.

Pada zaman Imam Ja‘far as, begitu banyak pemikiran dan kepercayaan sesat yang menggoncang keimanan masyarakat, lalu Imam bekerja keras memeranginya.

Dalam rangka itu, beliau mendirikan sebuah universitas Islam besar pertama, dan berhasil melahirkan lebih dari empat ribu sarjana di berbagai bidang ilmu agama, matematika, kimia, hingga kedokteran.

Tengoklah Jabir bin Hayyan, seorang ahlil kimia yang termasyhur itu. Ia mengawali pandangan-pandangan ilmiahnya dengan ungkapan, “Tuanku Ja‘far bin Muhammad Ash-Shadiq as telah mengatakan kepadaku ….”

Imam Ja‘far as sangat memuliakan para ilmuwan yang bertakwa, memberikan semangat, dan menjelaskan metodologi penelitian dan dialog yang benar kepada mereka dalam menegakkan agama dan memperkokoh dasar-dasar keimanan.

Beliau merasa sangat sedih tatkala menyaksikan para pemikir yang berusaha mengacaukan keyakinan masyarakat dengan menyebarkan berbagai pemikiran sesat.

Pernah suatu hari, empat pemikir sesat berkumpul di Makkah. Mulailah mereka memperolok para jemaah haji yang sedang bertawaf di seputar Ka’bah.

Selain itu, mereka berempat sepakat untuk menyanggah al-Quran dengan cara mengarang kitab yang serupa. Mereka pun membagi tugas yang masing-masing pemikir mempelajari seperempat dari al-Quran untuk disanggah, dan berjanji untuk bertemu lagi pada musim haji tahun depan.

Genap satu tahun kemudian, empat pemikir itu kembali berkumpul di Makkah. Pemikir pertama mengatakan, “Saya telah menghabiskan waktuku selama setahun hanya untuk memikirkan ayat yang berbunyi, ‘Maka tatkala mereka putus asa [terhadap hukuman Nabi Yusuf], mereka menyendiri sambil berunding dengan berbisik-bisik ….’ (QS. Yusuf:80) Sungguh kefasihan ayat ini melumpuhkan pikiranku.”

Pemikir kedua menyahut, “Ya, aku juga memikirkan ayat yang berbunyi, ‘Hai manusia, telah diberikan sebuah perumpamaan, maka simaklah dengan seksama, bahwa sesungguhnya segala sesuatu yang kamu sebut selain Allah sama sekali tidak mampu menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya.’ (QS. Al-Hajj:73). Sungguh Aku tidak sanggup menciptakan seindah ayat ini.”

Tanpa membuang waktu, pemikir ketiga pun menyambungnya, “Aku sudah memikirkan ayat ini, ‘Sekiranya di langit dan di bumi ada tuhan selain Allah, tentulah keduanya hancur….’ (QS. Al-Anbiya’:22) Sungguh aku begitu lemah untuk membuat padanannya.”

Akhirnya tibalah giliran pemikir keempat menyatakan pengakuannya, “Sesungguhnya Al-Qur'an ini bukanlah buatan manusia. Aku telah menghabiskan setahun penuh hanya untuk merenungkan ayat ini, ‘Dikatakan, 'Hai bumi, telanlah airmu, dan hai langit [hujan] berhentilah, dan air pun disurutkan, perintah pun terlaksana, dan bahtera itu pun berlabuh di bukit Judi [dekat Armenia daerah Mesopatomia], dan dikatakan binasalah orang-orang Zalim.’” (QS. Hud:44)

Ketika itu, Imam Ja‘far as. lewat di hadapan mereka. Sejenak memandang mereka, beliau membacakan firman Allah, “Seandainya segenap manusia dan jin bersatu untuk membuat padanan al-Quran ini, niscaya mereka tidak akan mampu, sekalipun mereka saling membantu satu sama lain.” (QS. Al-Isra’:88)

Mazhab Ja‘fariyah

Mazhab Ahlulbait as berkembang pada masa Imam Ja‘far as, dan pengikutnya terus bertambah pesat, sehingga masyarakat lebih mengenal mazhab Syi‘ah dengan mazhab Ja‘fariyah, yaitu nama yang diambil dari Imam Ja‘far Ash-Shadiq as.

Tentu saja tidak bisa dipungkiri, bahwa mazhab Ja‘fariyah adalah Mazhab Imam Ali bin Abi Thalib as yang telah dikhianati dan dibunuh oleh kaum Khawarij, mazhab yang menyebabkan Imam Hasan as tewas diracun oleh Muawiyah, mazhab yang menyebabkan Imam Husain as mencapai syahadahnya pada Hari Asyura (di Padang Karbala pada 10 Muharam).

Rasulullah saw telah mewasiatkan kepada kaum muslimin untuk berpegang teguh pada kitab Allah dan keluarga beliau (Ahlulbait as). Sayang sekali, kaum muslimin telah melupakan wasiat tersebut. Ada sebagian yang telah menyimpang jauh sampai merampas hak kepemimpinan mereka dan menyebarkan kerusakan dan kezaliman. Ada pula penguasa-penguasa yang mengasingkan mereka dan para pengikutnya, bahkan tak segan-segan membunuh dan merencanakan kekejian terhadap mereka, seperti yang terjadi di Karbala.

Kaum muslimin mulai menyadari bahwa sikap menyia-nyiakan wasiat Rasulullah saw itu merupakan kerugian besar. Pada saat yang sama, mereka takut terhadap ancaman penguasa, bahkan ada di antara mereka yang menyembunyikan kepercayaan dan kesetiaannya kepada Ahlulbait as demi keselamatan hidupnya.

Imam Ja‘far dan Manshur Dawaniqi

Kaum muslimin jenuh dan geram terhadap pemerintahan Bani Umayah yang zalim. Dalam keadaan demikian itu, terdapat sekelompok orang yang memanfaatkan kegeraman muslimin itu serta dan keberpihakan mereka kepada Ahlulbait Rasul as demi kepentingan pribadi.

Lantaran hasutan orang-orang itu, kaum muslimin mulai melakukan pembangkangan terhadap Bani Umaiyah dengan membawa-bawa nama Ahlulbait. Sementara itu Bani Abbasiyah segera giat menyalahgunakan kondisi tadi dengan mengajak kaum muslimin agar meneriakkan slogan “Kesetiaan pada Ahlulbait Muhammad.”

Slogan yang digemakan itu sangat membantu menyebarkan siasat Bani Abbasiyah. Pemberontakan mulai meletus di Khurasan yang dengan cepat mendapat gelombang dukungan dari masyarakat luas, hingga mereka bisa menggulingkan pemerintahan Bani Umayah.

Maka, terjadilah pergantian kekhalifahan. Bani Abbasiyah mulai melakukan pembagian kekuasaan dengan mitra politiknya dan mulai mengusir—bahkan—keturunan-keturunan Imam Ali bin Abi Thalib as, di manapun mereka ditemukan. Mereka melakukan kejahatan itu semua dengan sangat hati-hati.
Khalifah pertama Bani Abbasiyah ialah Manshur Dawaniqi. Dia menjalankan pemerintahan tangan besi dan merencanakan pembunuhan atas setiap penentangnya. Dia membunuh Muhammad dan saudaranya, Ibrahim, yang keduanya adalah dari keturunan Imam Hasan as.

Manshur juga menyebarkan mata-matanya di setiap kota. Secara khusus dia memerintahkan gubernur Madinah untuk mewaspadai setiap gerak gerik Imam Ja‘far as.

Pernah suatu kali Manshur mengundang Imam Ja‘far as dan berkata, “Mengapa engkau tidak mengunjungi kami sebagaimana orang-orang mendatangi kami?”

“Tidak ada urusan dunia yang membuat kami kuatir terhadapmu, dan tidak ada pula urusan akhiratmu yang bisa kami harapkan darinya. Begitu pula, tidak ada kenikmatanmu yang bisa kami syukuri, dan tidak pula kesusahanmu yang bisa kami sesalkan”, jawab Imam as.

Dengan liciknya, Manshur menawarkan, “Kalau begitu, jadilah temanku agar engkau bisa menasiatiku?”

Imam as kembali menjawab, “Siapa saja yang menginginkan dunia, ia tidak akan menasihatimu, dan siapa saja yang menginginkan akhirat, ia pun tidak akan menjadi temanmu.”

Manshur memerintahkan gubernurnya di Madinah untuk mengikis habis citra dan pengaruh besar Imam Ali bin Ali Thalib as di sana.

Hingga pada suatu hari, guberbur Madinah naik mimbar dan mulai mencaci maki Imam Ali as serta keluarganya. Tiba-tiba Imam Ja‘far as bangkit dan berkata, “Adapun sanjungan yang telah kau sampaikan, maka kamilah pemiliknya, dan segala hujatan yang telah kau katakan, maka kau dan sahabatmulah (Manshur) yang lebih pantas menjadi sasarannya.”

Lalu Imam as menoleh kepada khalayak sembari berkata, “Aku peringatkan kepada kalian akan orang yang paling ringan timbangan amalnya, yang paling jelas merugi di Hari Kiamat, dan yang paling celaka keadaannya. Yaitu, orang yang menjual akhirat dengan kesenangan duniawi orang lain. Orang itu adalah gubernur yang fasik ini.”

Gubenur itu segera turun dari mimbar sambil menanggung segunung rasa malu dan hina.

Dikisahkan, pada suatu saat di sebuah ruang pertemuan, ada seekor lalat bermain-main di hidung Manshur. Berulang kali dia mengusirnya. Lalat itu tetap saja kembali, sehingga dia merasa kesal dan berang. Ia berpaling kepada Imam Ja‘far as dan berkata, “Untuk apa Allah menciptakan lalat?”
“Untuk menghinakan hidung orang sombong.” Jawab Imam as.

Manshur begitu geram. Dia tak tahan lagi melihat keberadaan Imam as di bawah pemerintahannya. Untuk itu, dia merencanakan pembunuhan atas beliau. Akhirnya, dia pun berhasil meracuni beliau.
Imam Ja‘far as meninggal syahid pada 25 Syawal. Tubuhnya yang suci dikebumikan di pemakaman Baqi‘, Madinah Munawwarah.[]

Mutiara Hadis Imam Ja‘far as

• “Waspadalah terhadap tiga orang: pengkhianat, pelaku zalim, dan pengadu domba. Sebab, seorang yang berkhianat demi dirimu, ia akan berkhianat terhadapmu dan seorang yang berbuat zalim demi dirimu, ia akan berbuat zalim terhadapmu. Juga seorang yang mengadu domba demi dirimu, ia pun akan melakukan hal yang sama terhadapmu.”

• “Tiga manusia adalah sumber kebaikan: manusia yang mengutamakan diam (tidak banyak bicara), manusia yang tidak melakukan ancaman, dan manusia yang banyak berzikir kepada Allah.”

• “Sesungguhnya puncak keteguhan adalah tawadhu’.” Salah seorang bertanya kepada Imam, “Apakah tanda-tanda tawadhu’ itu?” Beliau menjawab, “Hendaknya kau senang pada majelis yang tidak memuliakanmu, memberi salam kepada orang yang kau jumpai, dan meninggalkan perdebatan sekalipun engkau di atas kebenaran.”

• Seorang laki-laki seringkali mendatangi Imam Ja‘far as, kemudian dia tidak pernah lagi datang. Tatkala Imam as menanyakan keadaannya, seseorang menjawab dengan nada sinis, “Dia seorang penggali sumur.” Imam as membalasnya, “Hakikat seorang lelaki ada pada akal budinya, kehormatannya ada pada agamanya, kemuliaannya ada pada ketakwaannya, dan semua manusia sama-sama sebagai Bani Adam.”

• “Hati-hatilah terhadap orang yang teraniaya, karena doanya akan terangkat sampai ke langit.”

• “Ulama adalah kepercayaan para rasul. Dan bila kau temukan mereka telah percaya pada penguasa, maka curigailah ketakwaan mereka.”

• “Tiga perkara dapat mengeruhkan kehidupan: penguasa zalim, tetangga yang buruk, dan perempuan pencarut. Dan tiga perkara yang tidak akan damai dunia ini tanpanya, yaitu keamanan, keadilan, dan kemakmuran.”



Inilah Hasil Bumi Indonesia yang Tercinta
Yang Selalu diJauhkan oleh orang-orang elit padahal Pete itu bergizi dan enak Denada aja suka sama Pete and Jengkol ko malah waktu itu dia sempet nambah heuheue

Create a Meebo Chat Room